Tuesday, 18 February 2014

Peringkat Mujtahid

Ketika membaca kitab “al-Maqasid al-Syari’ah ‘inda Imam al-Syafie” karangan Dr. Ahmad Wifaq (risalah dukturah=disertasi PhD beliau), perbahasan awal mengenai mukhtasar Imamuna Syafie dari mula beliau lahir sehinggalah pandangan para ulamak kepada imamuna. Antara perkara yang menjadi perhatian aku adalah kata-kata Imam al-Muzani :

“aku telah membaca kitab ar-Risalah sebanyak 500 kali, daripada pengulangan bacaan tersebut tidak lain tak bukan aku akan dapati daripadanya faedah atau kefahaman yang baru”
“aku telah melihat (menelaah) ar-Risalah selama 50 tahun dengan apa yang aku tidak ketahui, setiap aku melihat berulang kali kitab ar-Risalah ini  akan ada kefahaman atau faedah daripadanya sesuatu yang aku tidak ketahui sebelum itu daripadanya (ar-Risalah)”

Di sini jelas menunjukkan kepada kita bahawa untuk memahami sesuatu ilmu atau bidang atau kitab tersebut perlu kepada pengulangan membacanya, mengkajinya. Maka akan ada istifadah yang baru akan kita temui yang kita tidak temui atau fahami sebelumnya. Janganlah menjadi sesorang yang sekali membaca kitab tersebut dan beranggapan dah faham keseluruhan maksud kitab tersebut. ilmu perlu kepada pengulangan, supaya ingat dan melekat pada dada kita serta mendapat istifadah dari pengulangan tersebut.

apa yang menjadi perhatian aku lagi ialah Imam al-Muzani adalah seorang imam kabir di dalam mazhabuna, kesungguhan beliau dan ketidakbosanan beliau untuk mengulang bacaan dan kajian harus kita sama-sama teladani. Imam al-Muzani ini adalah salah seorang imam yang berada pada maqam Mujtahid Mazhab. Seperti yang kita pelajari di dalam ilmu Ushul, maqam mujtahid berbeza, mujthid mazhab adalah maqam yang kedua daripada darjat mujtahid dalam mazhab. Di dalam mazhabuna, pendapat mujtahid yang berkaliber  daripada mazhabuna juga diambil sebagai pendapat mazhab. Bahkan, kadang ianya berbeza dengan pendapat imam Syafie sendiri.

Buku teks yang awal dalam mazhabuna ialah kitab al-Umm, maka tidak hairanlah sekiranya ada pendapat atau hukum yang berbeza yang terdapat dalam kitab-kitab feqah mazhab syafie yang tidak sama atau berbeza dari hukum yang ada pada al-Umm, serta hukum-hukum yang tidak disebutkan di dalam kitab al-Umm. Ianya dinisbahkan kepada Mazhabuna kerana menggunakan metode imamuna Syafie.


Terdapat lima darjat atau tingkatan mujtahid di dalam mazhabuna yang disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab “al-Majmu’ Fi Syarh al-Muhazzab”, adapun kitab Ushul Fiqh ada yang menyebutkan empat sahaja. Tingkatan mujtahid tersebut :

Tulisan Ustaz Thoriq al-Indunasi : 

1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.

2. Mujtahid Madzhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).

Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)

Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)

3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).

4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)

Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.

5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)

Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)

Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.

Penutup
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu! Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.

Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.

Rujukan:
1. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi, Dar Al Fikr, th. 1425-1426 H, t. Dr. Mahmud Mathraji.
2. Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, Hijr, cet. 2, th. 1413 H, t. Dr. Abdul Fattah Muhammad Al Hulwu, Dr. Muhamud Muhammad At Thanahi.
3. Nihayah Az Zain fi Iryadi Al Mubtadi’in, Nawawi Al Bantani, Al Haramain, cet. 1,th. 1426 H.
4. Bughyah Al Mustaryidin, Ba’alawi, Nur Al Huda.
5. Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, Al Allamah Syeikh Alawi bin Ahmad As Saqqaf, Dar Al Basyair Al Islamiyah, cet. 1, th. 1425 H.
6. Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi, Taqiyuddin As Subki dalam Majmu’ah Ar Rasail Al Muniriyah, Idarah At Thiba’ah Al Muniriyah, cet. 2, th 1343 H.
7. Syarh Al Mahalli Ala Al Minhaj dalam Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, Al Mahalli, Dar Al Fikr, cet. 1, th. 1419 H.

No comments:

Post a Comment